Seringkali
kita ditawari mbak-mbak kasir di supermarket: “mau menggunakan kantong plastik
atau eco bag.” Sering juga kita lihat berbagai kemasan dilabeli: “eco-friendly”
atau “no animal-testing.” Apa perlunya
gestur semacam ini dilakukan? Atau jika kita hendak bersikap skeptis,
mungkinkah segala prefiks “eco” (eco-bag, eco-friendly, eco-capitalism, dst..)
ini sekadar trend yang didalangi kaum pemodal, sebagai upaya membangun citra
bahwa dagangan mereka juga punya nilai lebih?
Mungkin isu
ekologi baru mulai populer di tahun 1960-an, namun sama tuanya dengan polutan industri
petama kali dilepas ke udara (:revolusi industri), isu pelestarian lingkungan
hidup pun sebenarnya sudah mulai membayangi kesadaran manusia sejak abad
ke-19. Hukum enviromentalis modern
tertua yang pernah tercatat mungkin adalah British
Alkali Acts di tahun 1863; yang mengatur jumlah residu polutan hydrochloric acid di udara. Dari fakta
ini, bisa dibayangkan, kecemasan manusia akan kelestarian lingkungan hidup
sebenarnya sudah ada bahkan sebelum Green
Politics lahir menjadi salah satu ideologi modern dominan. Mungkin jauh di
dalam kesadarannya, manusia menyadari bahwa ada konsekuensi besar saat kita
bermain-main dengan alam di luar mekanisme naturalnya.
Isu ekologi
memang sarat polemik. Mereka yang pragmatis dan cenderung berpihak pada aspek ekonomis
saja, lebih sering menganggap bahwa isu ini berlebihan. Ada semacam keyakinan
bahwa manusia dengan tools berupa kebudayaan memang berhak untuk mengambil alih alam untuk kepentingan mereka
sendiri. Oposisi culture versus nature pun muncul, dengan nature sebagai
inferiornya culture.Yang lebih menarik, adalah berkembangnya sudut pandang
lanjutan yang merelasikan hubungan antara opresi nature oleh culture, dengan
opresi dalam sistem patriarkal dimana kaum pria dianggap lebih superior terhadap
kaum wanita. Sudut pandang yang diberi istilah ekofeminisme ini pun lahir
digawangi oleh para ekofeminis seperti Francoise d’Eaubonne, Vandana Shiva, dan
Freta Gaard.
Menurut Vandana
Shiva kaum perempuan memiliki koneksi khusus dengan alam, melalui suatu
intraksi keseharian yang di masa patriarki modern telah dilupakan—bahkan oleh
kaum perempuan itu sendiri. Shiva juga berkata bahwa “kaum perempuan adalah
sumber daya yang menghasilkan kekayaan sebagai hasil partnership dengan alam,
dan dengan sendirinya telah menjadi semacam ahli dalam pengetahuan ekologis dan
holistis akan berbagai proses-proses alam.”
Terlepas dari
perdebatan akan kebenaran klaim Shiva ini, tapi jika diperhatikan memang ada
semacam kesamaan antara karakter dasar alam dengan arketipal kaum ibu dalam
mitologi dan kisah-kisah masa lalu. Karakter seperti sustainabality,mengabdi tanpa batas, dan resorcefulness tampaknya memang sama-sama mendasari kompleksi kaum
perempuan dan alam. Tapi kemudian mencermati karakter perempuan termutakhir,
rasanya klaim ini jauh dari benar. Perempuan masa kini terseret juga dalam
ramainya ambisi materialisme. Perempuan menjadi egois, berupaya membangun citra
diri yang sesuai dengan kesepakatan umum (=kesepakatan kaum pemodal); berupaya
menjadi cantik seperti yang dikomando oleh iklan dan slogan para pedagang. Perempuan
masa kini laiknya semacam partner “culture” dalam menggerus “nature.”
Kembali mengupas
demam prefiks serba “eco” yang agaknya dilakoni para pemodal sebagai strategi
pemasaran. Mungkin memang benar semangat tulus ekologis telah terkomodifikasi,
namun di lain pihak trend “ecofriendly” ini
sesungguhnya bisa dijadikan momentum untuk menjadikan mesin kapitalis untuk mendukung
isu lingkungan hidup. Kaum perempuan—yang dalam opini ini—memiliki kedekatan
khusus dengan alam, baiknya berkampanye aktif untuk mendukung trend serupa.
Hal terkecil
yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan kebijakan industri dengan memilih
produk yang ecofriendly. Industri kosmetik
adalah salah satu industri terbesar yang dikendalikan selera kaum perempuan
dalam memproduksi barang dagangannya. Jika trend yang berjalan adalah bibir
berwarna merah mengkilap, maka industri kosmetik akan berlomba menghasilkan lipstik
dengan efek bibir merah mengilap. Begitupun jika kebanyakan dari kita menginginkan
produk yang ramah lingkungan, produsen pun akan berlomba untuk memproduksi kosmetik
yang ecofriendly.
Di luar
negeri trend kosmetik ecofriendly
sudah berjalan cukup lama. Produk-produk seperti Aveda, Dr. Hauschka, Vichy,
dan Yves Rocher hanya sekian dari banyak perusahaan yang berlomba dalam
kampanye pro ekologi. Berbagai strategi kreatif pun dijalani, seperti misalnya
yang dilakukan Cargo, produsen kosmetik asal AS ini menawarkan produk lipstick
yang kemasannya unik dibuat dari bahan biodegradable
dan juga mengandung biji tumbuhan. Jadi tak hanya menghindari limbah tak
terurai, namun saat kita membuang kemasan kita juga ikut menanam pohon. Isu ekologi dalam produksi kosmetik juga
memberi keuntungan tersendiri bagi konsumennya. Selain ikut menyokong berbagai
gerakan hijau, produsen kosmetik yang peduli lingkungan juga biasanya
menggunakan bahan organik yang aman untuk dikonsumsi kaum perempuan. Jadi dengan
membeli kosmetik eco-friendly dengan sendirinya kita membeli kualitas juga.
Sayangnya kompetisi
di areal “hijau” ini tampaknya tak terlampau menjadi isu di produsen kosmetik
dalam negeri. Produk impor yang ada pun kebanyakan tak menjadikan aspek “eco-friendly”
sebagai nilai unggulnya. Mungkin hanya produk the Body Shop yang kentara menyuarakan kampanye hijaunya. Dengan keunggulan
menggunakan green electricity dalam
proses produksinya, the Body Shop menjadi merk pilihan untuk kaum perempuan
yang ingin turut mendukung pelestarian lingkungan hidup. Selain gencar
menyuarakan green campaign, merk yang
satu ini juga memiliki keanggunan tersendiri dengan menolak memproduksi produk
pemutih. Dengan alasan bahwa warna kulit bukanlah parameter kecantikan kaum
perempuan, the Body Shop secara tak
langsung juga mengkampanyekan nilai kecantikan yang pluralistik.
Mungkin sudah
saatnya kita kaum perempuan menyadari bahwa selera kita akan nilai cantik
rentan dipengaruhi strategi pasar para produsen kosmetik. Dengan memilah produk
tak hanya dari kualitas barangnya saja, akan tetapi dengan memperhatikan cause apa yang didukung si merk yang
hendak kita beli, setidaknya dalam aktivitas konsumsi pun kita bisa
menyumbangkan sesuatu yang idealistik untuk lingkungan sekitar.